Minta Penyelesaian Konflik Investasi Kedepankan Musyawarah

oleh
Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Sintang, Heri Jambri

SINTANG, KALBAR- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sintang, Heri Jambri, menyebutkan bahwa 90 persen konflik yang terjadi di Kabupaten Sintang disebabkan masalah investasi.

Oleh karena itu, ia meminta penyelesaian konflik mengedepankan jalur musyawarah.

“Pemerintah daerah harus mencari solusi lain dalam menangani penyelesaian konflik investasi di Kabupaten Sintang. Solusi yang dimaksud jangan hanya satu jalur saja, yaitu jalur hukum. Tapi harus mengedepankan jalur musyawarah,” kata Heri Jambri, Kamis 24 November 2022 kemarin.

Bukannya tanpa alasan, sebab kata dia, ketika perusahaan masuk ke suatu daerah mereka juga melalui proses musyawarah dulu. Meminta tanah masyarakat dengan cara baik-baik.

“Nah setelah mereka mendapatkannya seakan-akan mereka memilikinya, akhirnya digunakan atau bertidak dengan kekuasaan. Untuk itu saya pikir harus dicari cara menyelesaikan konflik investasi yang tidak melalui jalur hukum, yaitu jalur musyawarah,” pintanya.

Oleh karenanya, dia meminta pemerintah daerah melalui TKP3K memaksimalkan peran agar penyelesaian konflik tidak diambil alih atau naik ke kepolisian.

“Nah TKP3K harus benar-benar berperan. Tapi kalau TKP3K nya tidak jalan akhirnya Kepolisian yang mengambil penyelesaian konflik. Padahal bisa saja itu persoalan perdata, bisa juga persoalan-persoalan ingkar janji, bisa juga karena persoalan masyarakat sekitar kebun tidak Sejahtera. Tanah dia habis,Btidak mampu bekerja sehingga terjadilah hal-hal yang dianggap oleh perusahaan itu pencurian atau kriminal, sementara masyarakat menganggap tujuannya itu untuk mereka sejahtera,” jelasnya.

Menurutnya jika masyarakat di area konsesi kebun perusahaan tidak sejahtera berarti ada yang salah dengan investasi tersebut.

“Jadi Ini pertanyaan besar untuk perusahaan investasi apakah masyarakat di area konsesi kebun sejahtera atau tidak. Kalau yang terjadi masyarakat justru tidak Sejahtera berarti ada yang salah dengan investasi itu. Baik pengaturannya maupun pola bagi hasilnya,” kata Heri Jambri.

Heri jambri menilai pola bagi hasil yang dulu 60% untuk petani dan 40% untuk perusahaan terbukti mewujudkan petani lebih sejahtera. Seperti petani di daerah Binjai dan Sungai Tebelian Sintang

“Artinya yang sekarang ada salah pola yang diatur oleh pemerintah, saya khawatir jangan-jangan aturan yang dibuat dari pusat ini adalah pesanan sehingga aturan ini merugikan masyarakat,” ucapnya

Mestinya, lanjut dia, konflik investasi bisa dicegah sejak awal investasi dimulai. Pemerintah daerah memberikan izin kepada perusahaan tanpa membiarkan perusahaan berjalan sendiri.

“Pemerintah daerah harus memahami bahwa masyarakat sudah dasarnya lemah, tidak punya sumber daya keuangan dan sumber daya manusia untuk mengelola perkebunan, maka harus didampingi. Kalau posisi masyarakatnya kuat mereka tidak perlu investor,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *